Thursday 22 September 2016

portopolio Urbanisasi

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PADA KELUARGA YANG MELAKUKAN URBANISASI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Sejarah
Semester III
Diampu Oleh:










Disusun Oleh :

         Riswano                NIM (1400514)





                                   
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELURAGA
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016

DAFTAR ISI
1.      Permasalahan
2.      Lembar Bahan Masalah (data)
3.      Kajian teori
4.      Solusi
5.      Daftar Wawancara
6.      Lampiran Wawancara























PERMASALAHAN KELUARGA YANG MELAKUKAN URBANISASI
Keluarga sebagai sebuah organisasi terkecil dan terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang hidup bersama. dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk.
Salah satu fungsi keluarga adalah :
1.      fungsi sosial budaya yaitu keluraga harus meneruskan nilai-nilai budaya pada anak, nilai turunkan dari generasi ke generasi supaya nilai tersebut lestari dan tidak di gantikan dengan nilai budaya lain yang menyalahi norma-norma di masyarakat.
2.      Fungsi sosialisasi yaitu sebagai keluarga harus bersosialisasi dengan individu, keluarga, dan masyarakat lain sehingga keluarga bisa mendapatkan manfaaat sosial dari sosialisasi tersebut. Anggota keluarga harus bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat sehingga hubungan yang baik bisa terjaga.
3.      Pembentukan norma yaitu sebagai keluarga harus bisa membimbing dan menanamkan norma-norma yang membuat anak mempunya kepribadian yang sesuai dan bisa membentengi diri dari budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan norma dimasyarakat di Indonesia.


Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota urbanisai sangat mempunya dampak sosial budaya kepada keluarga yaitu keluarga yang melakukan urbainisasi pasti akan berada pada lingkungan sosial budaya yang berbeda dari tempat tinggal di desanya.
Diantarannya permasalahan yang dihadapi keluarga yang melakukan urbanisasi yaitu :

1.      Keluarga  kota tergolong keluarga modern, sehingga lebih mudah menerima perubahan sosial budaya. Masyarakat kota lebih mengenal hukum negara daripada hukum adat atau tradisi, sedangkat keluarga pada saat di desa sangat menerapkan hokum adat secara taat.
2.      Keluarga di kota cendrung sangat mudah mengalami perubahan sosial berbeda dengan masyarakt di desa yang sangat tidak mudah mengalami perubahan sosial.
3.      Keluarga di desa mempunya hubungan yang erat dengan tetangga dan masyarkat di sekitarnya. Keluarga saling bergantung kepada keluarga lain dalam masalah ekonomi, sosial, dan budaya, berbeda halnya dengan di kota masyarakat cendrung saling sendiri.
2.         Lembar Bahan Masalah (data)
1.      Berdasarkan data BPS, porsi 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi di Indonesia terus meningkat, sementara 40% penduduk pendapatan menengah dan rendah cenderung fluktuatif.
2.      jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, maka kondisi tersebut kini justru mengalami kebalikan. Penduduk desa masih berkisar di angka 120 juta jiwa, sementara penduduk yang tinggal di perkotaan justru mengalami kenaikan hingga empat kali lipat, dari 32,76 juta jiwa menjadi sekitar 123,12 juta jiwa. Jika tren urbanisasi tetap seperti saat ini, maka di tahun 2025 nanti sekitar 65% penduduk akan berada di kota, sementara sisanya akan berdiam di pedesaan dengan mayoritas usia nonproduktif dan senja.
3.      Menurut data Price Waterhouse Cooper pada 2014, tingkat populasi urbanisasi Indonesia sebesar 51,4 persen atau tertinggi kedua setelah Malaysia dengan angka sebesar 73,4 persen. Sedangkan negara anggota ASEAN lainnya, seperti Vietnam hanya 31,7 persen, Thailand 34,5 persen, dan Filipina 49,1 persen.
4.      Bappenas mencatat pada 2006-2007 terjadi penurunan jumlah penduduk di Jakarta yakni di Jakarta Timur sebesar 1,83 persen, di Jakarta Barat sebesar 0,56 persen, di Jakarta Pusat sebesar 2,43 persen, dan di Jakarta Utara sebesar 2,21 persen.
Namun, penurunan jumlah penduduk tersebut diikuti oleh bertambahnya penduduk di daerah sekitar Jakarta, yakni sebesar 4,3 persen di Bogor, 4,6 persen di Bekasi, 4,2 persen di Depok, dan 5,4 persen di Tangerang.

Hasil gambar untuk data tentang urbanisasiHasil gambar untuk data tentang urbanisasi



Pengertian Urbanisasi Menurut Para Ahli

1.      Menurut J.H. De Goede Urbanisasi diartikan sebagaiproses pertambahan penduduk pada suatu wilayahperkotaan (urban) ataupun proses transformasi suatuwilayah berkarakter perdesaan (rural) menjadi urban.
2.      Menurut Kantsebovskaya (1976) Urbanisasi merupakangejala, atau proses yang sifatnya multi-sektoral, baikditinjau dari sebab maupun akibat yang ditimbulkan.
3.      Urbanisasi dapat diartikan sebagai pertambahanpenduduk perkotaan (Shryyock dan Siegel, 1976)

Dampak Urbanisasi dalam Aspek Sosial-Budaya

Perbincangan mengenai akibat urbanisasi bagi masyarakat desa, selama ini lebih banyak mengungkapkan pada aspek sosial ekonomi, sementara sorotan terhadap aspek sosial budaya dirasakan masih kurang. Pada hal sebagaimana dinyatakan beberapa ahli seperti Zelinsky (1971:222) dan Lewis (1982:168) bahwa mobilitas penduduk me-megang peranan penting dalam perubahan sosial-budaya dengan cara membawa ma-syarakat dari kehidupan tradisional ke sua-sana dan cara hidup modern yang dibawa dari luar. Perubahan tersebut termasuk per-geseran nilai dan norma serta jaringan dan pola hubungan kekerabatan di pedesaan.

Sebenarnya tidaklah mudah menge-mukakan perubahan yang terjadi pada aspek sosial budaya ini, karena tidak begitu nampak secara nyata seperti halnya pada perubahan sosial ekonomi.Sehingga untuk mengetahuinya diperlukan pengamatan yang agak intensif dan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang benar-benar menguasai pemasalahan. Bebe-rapa perubahan dalam aspek sosial budaya antara lain tersebut di bawah ini.

Pertama, perubahan yang paling nampak dalam aspek sosial budaya adalah dalam bidang pendidikan.Beberapa infor-man mengemukakan bahwa sejak sekitar dua puluh tahun terakhir ini, yaitu sejak berangsurnya penduduk Desa Jetis melaku-kan urbanisasi, maka kesadaran penduduk untuk menyekolahkan semakin meningkat. Bila pada tahun 1970-an kebanyakan orang tua hanya menyekolahkan hingga tamat SD, dan sangat sedikit yang menyekolahkan hingga sekolah lanjutan, kini sebagian besar telah menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang sekolah lanjutan atas, bahkan hingga perguruan tinggi. Di desa Jetis, tidaklah aneh bila orang tuanya   bekerja di kota sebagai pedagang bakso, sementara anaknya kuliah di perguruan tinggi. Tanpa mengabaikan pengaruh varia-bel lain, misalnya fasilitas pendidikan yang semakin banyak hingga ke pelosok desa, urbanisasi berdampak pada peningkatan kesadaran menyekolahkan anak, wawasan dan pemikiran semakin terbuka setelah ba-nyak berhubungan dengan masyarakat luar, dan melihat perkembangan pembangunan yang terjadi di tempat lain. Apalagi ke-sadaran ini semakin ditunjang peningkatan pendapatan sehingga mereka mampu membiayai pendidikan anaknya.

Kedua, urbanisasi juga berdampak pada perubahan peranan dan tanggung jawab wanita. Kenyataan ini terutama nampak pada wanita yang ditinggal suaminya bekerja di kota, mereka harus bertindak sebagai kepala rumah tangga selama suaminya tidak ada di rumah. Wanita tidak hanya bertanggung jawab atas kegiatan di dalam rumah tangga, tetapi juga harus melakukan kegiatan kemasyarakatan atas nama suami.  Secara tidak langsung mengubah kebiasaan menempat-kan kaum wanita hanya sebagai ibu rumah tangga serta berurusan dengan kegiatan wanita saja.Sebagaimana program pemerintah yang menuntut kaum wanita untuk turut serta dalam kegiatan di luar rumah tangga.

Ketiga, dampak urbanisasi juga ter-lihat pada kelembagaan keluarga, khususnya dalam sistem perkawinan, di mana sekarang ini orang tua tidak lagi dominan dalam menentukan pilihan jodoh bagi anaknya. Dalam kasus di Desa Jetis ini, banyak di antara pemuda-pemudinya yang memperoleh pasangan hidup dari luar daerah atas dasar pilihannya sendiri, dan kebanyakan jodohnya tersebut diperoleh di kota tempat mereka bekerja. Dampak lain adalah semakin meningkatnya usia perka-winan. Kalau pada tahun 1970-an anak gadis yang belum berumur 18 tahun sudah di-nikahkan, kini umur kawin telah meningkat dan cenderung “diprogram” oleh mereka sendiri.

Keempat, urbanisasi memberikan pengaruh pada meluasnya kerangka pemi-kiran penduduk desa serta mengubah perilaku masyarakat dari orientasi sosial ke orientasi komersial. Dalam hal ini telah terjadi perubahan apresiasi nilai uang pada seluruh warga desa, atau dengan kata lain meminjam istilah beberapa ahli, di desa tersebut telah terjadi monetisasi dan komersialisasi aktivitas yang semula bersifat sosial. Kegiatan gotong-royong yang selama ini dipandang merupakan aktivitas luhur yang kita banggakan kini semakin luntur. Contoh nyata dalam hal ini adalah bahwa dewasa ini kegiatan memperbaiki rumah, membangun pagar, membuat sumur, dan kegiatan-kegiatan lain di sekitar rumah tangga sekarang tidak lagi dilakukan dengan cara sambatan atau tolong-menolong antar tetangga, melainkan dilakukan dengan membayar tenaga tukang.

Kelima, dari segi hubungan kekera-batan, urbanisasi sering diasosiasikan dengan melemahnya atau longgar-nya hubungan kekerabatan. Dengan kata lain, makin meningkat kegiatan mobilitas penduduk akan semakin melonggarkan ke-terikatan mereka dengan kehidupan pen-duduk setempat. Lemahnya hubungan keke-rabatan sebenarnya tergantung dari persepsi yang diberikan.Secara fisik, memang kepergian mereka ke luar desa mengaki-batkan semakin berkurangnya kesempatan mereka untuk mengikuti acara atau peris-tiwa sosial di desa.Tetapi secara batiniah hubungan dan ikatan dengan daerah asal itu ada beragam perilaku.Ada yang memang merasa masih memiliki ikatan kuat dengan kerabatnya di desa.Hal ini ditunjukkan dengan perilaku kepulangan mereka setiap saat ke desa asal.Tetapi ada pula yang sudah mulai “ogah-ogahan” pulang ke desa, dan dengan demikian ikatan kekerabatan juga sudah melonggar.

Keenam, secara sosial, urbanisasi akan berpengaruh pada kesejahteraan ke-luarga migran yang bersangkutan. Hal ini berkait dengan kehidupan keluarga mereka yang terpaksa harus hidup terpisah sampai jangka waktu yang tidak diketahui batasnya. Sekalipun mereka pada waktu-waktu ter-tentu pulang ke desa, namun kese-jahteraan keluarga akan lebih terjamin bila mereka selalu berkumpul dalam satu rumah. Namun demikian, hal ini nampaknya tidak terlalu dirisaukan oleh orang desa, sebagai masyarakat desa yang biasa hidup sub-sistensi, nampaknya pemenuhan kebutuhan ekonomi lebih mendominasi pemikiran mereka dalam soal kesejahteraan hidupnya.

Ketujuh, orang-orang “sukses” di kota ini dapat menumbuhkan kemampuan dan keinginan untuk berkompetisi atau bersaing. Dari sisi positif kompetisi dan persaingan ini akan sehat dan baik apabila mendorong mereka terpacu dan semakin giat bekerja, sehingga keberhasilan ini akan semakin dapat dirasakan penduduk desa. Di sisi lain kompetisi dan persaingan ini akan menjadi tidak sehat karena membuahkan perilaku budaya baru yang disebut dengan budaya “pamer” dengan menggunakan ke-kuatan ekonomi. Karena budaya “pamer” ini tidak sesuai dengan budaya Jawa yang berusaha untuk konform dengan lingkungan sekitar.Dalam hal ini, orang mencari penga-kuan dan kehormatan melalui kekayaannya. Data di atas sesuai dengan sinyalemen Saefullah (1994:40) yang menyatakan penggunaan uang untuk membeli tanah, mendirikan rumah, membeli sepeda motor, dan alat-alat rumah tangga modern tam-paknya terdorong oleh apirasi mobilitas sosial.

Kedelapan, pengaruh urbanisasi juga nampak pada kebiasaan berpakaian dan makan.Perubahan dalam hal berpakaian tidak semata-mata karena evolusi alamiah, melainkan juga karena ada kontak dengan dunia luar atau ada pihak yang memper-kenalkan. Media massa dan iklan dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam berpakaian dan makan, tetapi dampaknya tidak akan efektif apabila tidak ada orang yang memberikan contoh nyata dalam kesehariannya. Setelah melihat cara-cara baru berpakaian dan mengenal macam-macam makanan modern sekembalinya ke desa diperlihatkan kepada orang-orang desa.

Kesembilan, perubahan juga nampak pada pergaulan remaja, serta interaksi antara generasi muda dengan orang tua.Dari sisi positif, urbanisasi mendorong penduduk untuk memperluas pergaulan dan penga-laman, dengan akibat lebih lanjut pada keinginan mereka untuk meningkatkan ke-mampuan diri. Sedangkan di pihak lain sebagian remaja yang pergi ke kota mem-bawa kebiasaan baru yang bersifat negatif yang diperolehnya di kota seperti minum-minuman yang mengandung alkohol, ber-judi. Dampak negatif yang lain adalah mulai berkurangnya penghormatan terhadap orang tua. Memang hanya sedikit warga Desa Jetis yang melakukan kegiatan negatif semacam itu, meskipun demikian perilakunya dapat mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal interaksi antara generasi muda dengn orang tua seringkali ditemui adanya kesenjangan, baik dalam hal nilai, norma dan berakibat pada perilaku kesehariannya.


Teori kependudukan
Penduduk jika dilihat dari sisi positif, sebetulnya memiliki faktor strategis dalam pembangunan dengan beberapa alasan. Alasan pertama, penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi mesin penggerak pembangunan. Sebagai obyek, pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama, dengan memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif.

Alasan kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada akan sangat mempengaruhi dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar namun kualitasnya kurang memadai justru akan menjadi beban pembangunan.

Alasan ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka panjang, sehingga terkadang peran penting penduduk dalam pembangunan menjadi terabaikan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah seringkali bersifat populis jangka pendek. Akibatnya pengelolaan kependudukan di suatu negara bukan menjadi hal yang cukup prioritas. Padahal tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan berarti sama artinya dengan ”menyengsarakan” generasi mendatang.

Bagaimana penduduk mempengaruhi pertumbuhan juga diuraikan dalam berbagai teori. Thomas Robert Malthus dalam bukunya An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of Society, menyoroti pentingnya pengelolaan penduduk. Malthus mengingatkan tentang bahaya laju pertumbuhan penduduk yang akan melebihi percepatan laju penyediaan pangan. Secara implisit teori tersebut menekankan pentingnya pengendalian populasi sebagai salah satu kekuatan penggerak dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Paska lahirnya teori Malthus, dunia sepertinya tidak lagi memperdulikan peran populasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Berbagai teori pertumbuhan ekonomi klasik justru menganggap pentingnya peran akumulasi modal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi negara dengan menafikan peran populasi. Sebagai contoh teori Harod Domar yang menyatakan bahwa sumber pertumbuhan adalah besarnya porsi pendapatan domestik bruto (PDB) yang ditabung, sebagai capital stock untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Dalam pengembangannya, Solow Swan mulai mempertimbangkan pentingnya akumulasi modal ”dalam arti luas” sebagai sumber utama pertumbuhan. Akumulasi modal ”dalam arti luas” didefinisikan sebagai ”modal fisik dan non fisik berupa ilmu pengetahuan dan teknologi”. Teknologi akan memacu inovasi, meningkatkan produktivitas, serta terciptanya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Inovasi tersebut muncul dari hasil learning by doing, dengan menekankan pentingnya kualitas penduduk di dalamnya. Pengembangan teori Solow Swan inilah yang nantinya dikenal sebagai New Growth Theory, sebagai dasar munculnya revoluasi pemikiran pentingnya kualitas penduduk dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Di era Orde Baru, Pemerintah sebetulnya cukup concern dengan masalah kualitas penduduk. Banyak kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat terintegrasi demi menciptakan penduduk yang berkualitas. Program Keluarga Berencana (KB), BKKBN, dan Posyandu adalah contoh nyata kebijakan Pemerintah Orde Baru yang ditujukan demi menciptakan masyarakat yang berkualitas.

Hal inilah sejujurnya yang menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk bagaimana mengubah kualitas penduduk sehingga urbanisasi tidak lagi dimaknai negatif. Tujuan utama yang ingin dicapai tentu saja meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh daerah di Indonesia. Dan pemerintah sudah memiliki instrumen pendanaan yang tepat jika ingin mewujudkan mekanisme tersebut. Rencananya, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2016, besaran dana Transfer ke Daerah akan mencapai Rp800 triliun, naik secara signifikan dibandingkan alokasi APBN Perubahan 2015 sebesar Rp643,8 triliun. Di dalam alokasi tersebut, sudah termasuk pula Dana Desa yang besarannya juga akan terus diupayakan untuk meningkat secara singifikan.

Optimalisasi “Ekonomi Lebaran” di daerah-daerah juga perlu dilakukan. Perlu dicatat bahwa ketika ekonomi nasional tengah mengalami kelesuan, permintaan uang tunai untuk kebutuhan Lebaran tahun 2015 justru mengalami kenaikan hingga mencapai Rp125 triliun. Dari keseluruhan uang tersebut, sebesar Rp61 triliun beredar di pulau Jawa, Rp20 triliun beredar di pulau Sumatera dan sisanya sekitar Rp11 triliun beredar di Bali dan Indonesia Timur. Dari Rp61 triliun yang beredar di Jawa, sekitar 30%-nya beredar di Jakarta. Suatu potensi ekonomi yang sebetulnya sangat disayangkan jika terbuang hanya untuk kegiatan konsumtif semata tanpa dapat menggerakan kegiatan investasi selanjutnya.

Oleh karena itu, ke depan Pemerintah sebaiknya memfokuskan pada bagaimana menciptakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah sebagai acuan kinerja utama, khususnya di wilayah-wilayah perdesaan demi men-disencourage ledakan urbanisasi. Tanpa itu semua, Jakarta akan terus menjadi tumpuan mengadu nasib seluruh pendatang baru, meskipun Jakarta sendiri juga memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung. Seyogyanya pekerjaan ini dimulai dari sekarang. Jangan tunggu sampai Jakarta menjadi kota nekropolitan bagi penduduknya.



Title: portopolio Urbanisasi; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

No comments:

Post a Comment