PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA
PADA KELUARGA YANG MELAKUKAN URBANISASI
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Berpikir Kritis dan Kreatif dalam
Pembelajaran Sejarah
Semester
III
Diampu Oleh:
Disusun Oleh :
Riswano NIM (1400514)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELURAGA
FAKULTAS
PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA
2016
DAFTAR ISI
1.
Permasalahan
2.
Lembar Bahan Masalah (data)
3.
Kajian teori
4.
Solusi
5.
Daftar Wawancara
6.
Lampiran Wawancara
PERMASALAHAN KELUARGA YANG MELAKUKAN
URBANISASI
Keluarga sebagai sebuah organisasi terkecil dan terdiri dari ayah, ibu,
dan anak yang hidup bersama. dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala
keluarga dan makan dalam satu periuk.
Salah satu fungsi keluarga adalah :
1.
fungsi sosial budaya yaitu keluraga harus meneruskan
nilai-nilai budaya pada anak, nilai turunkan dari generasi ke generasi supaya
nilai tersebut lestari dan tidak di gantikan dengan nilai budaya lain yang
menyalahi norma-norma di masyarakat.
2.
Fungsi sosialisasi yaitu sebagai keluarga harus
bersosialisasi dengan individu, keluarga, dan masyarakat lain sehingga keluarga
bisa mendapatkan manfaaat sosial dari sosialisasi tersebut. Anggota keluarga
harus bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat sehingga hubungan
yang baik bisa terjaga.
3.
Pembentukan norma yaitu sebagai keluarga harus bisa
membimbing dan menanamkan norma-norma yang membuat anak mempunya kepribadian
yang sesuai dan bisa membentengi diri dari budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan norma dimasyarakat di Indonesia.
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa
ke kota urbanisai sangat mempunya dampak sosial budaya kepada keluarga yaitu
keluarga yang melakukan urbainisasi pasti akan berada pada lingkungan sosial
budaya yang berbeda dari tempat tinggal di desanya.
Diantarannya permasalahan yang dihadapi keluarga yang melakukan
urbanisasi yaitu :
1.
Keluarga kota tergolong keluarga
modern, sehingga lebih mudah menerima perubahan sosial budaya. Masyarakat kota
lebih mengenal hukum negara daripada hukum adat atau tradisi, sedangkat
keluarga pada saat di desa sangat menerapkan hokum adat secara taat.
2.
Keluarga di kota cendrung sangat mudah mengalami
perubahan sosial berbeda dengan masyarakt di desa yang sangat tidak mudah
mengalami perubahan sosial.
3.
Keluarga di desa mempunya hubungan yang erat dengan
tetangga dan masyarkat di sekitarnya. Keluarga saling bergantung kepada
keluarga lain dalam masalah ekonomi, sosial, dan budaya, berbeda halnya dengan
di kota masyarakat cendrung saling sendiri.
2. Lembar Bahan Masalah
(data)
1.
Berdasarkan data BPS, porsi 20% penduduk dengan
pendapatan tertinggi di Indonesia terus meningkat, sementara 40% penduduk
pendapatan menengah dan rendah cenderung fluktuatif.
2.
jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia
masih tinggal di pedesaan, maka kondisi tersebut kini justru mengalami
kebalikan. Penduduk desa masih berkisar di angka 120 juta jiwa, sementara
penduduk yang tinggal di perkotaan justru mengalami kenaikan hingga empat kali
lipat, dari 32,76 juta jiwa menjadi sekitar 123,12 juta jiwa. Jika tren
urbanisasi tetap seperti saat ini, maka di tahun 2025 nanti sekitar 65%
penduduk akan berada di kota, sementara sisanya akan berdiam di pedesaan dengan
mayoritas usia nonproduktif dan senja.
3.
Menurut data Price Waterhouse Cooper pada 2014,
tingkat populasi urbanisasi Indonesia sebesar 51,4 persen atau tertinggi kedua
setelah Malaysia dengan angka sebesar 73,4 persen. Sedangkan negara anggota
ASEAN lainnya, seperti Vietnam hanya 31,7 persen, Thailand 34,5 persen, dan
Filipina 49,1 persen.
4.
Bappenas mencatat pada 2006-2007 terjadi penurunan
jumlah penduduk di Jakarta yakni di Jakarta Timur sebesar 1,83 persen, di
Jakarta Barat sebesar 0,56 persen, di Jakarta Pusat sebesar 2,43 persen, dan di
Jakarta Utara sebesar 2,21 persen.
Namun,
penurunan jumlah penduduk tersebut diikuti oleh bertambahnya penduduk di daerah
sekitar Jakarta, yakni sebesar 4,3 persen di Bogor, 4,6 persen di Bekasi, 4,2
persen di Depok, dan 5,4 persen di Tangerang.
Pengertian Urbanisasi Menurut Para Ahli
1.
Menurut J.H. De Goede Urbanisasi diartikan
sebagaiproses pertambahan penduduk pada suatu wilayahperkotaan (urban) ataupun
proses transformasi suatuwilayah berkarakter perdesaan (rural) menjadi urban.
2.
Menurut Kantsebovskaya (1976) Urbanisasi
merupakangejala, atau proses yang sifatnya multi-sektoral, baikditinjau dari
sebab maupun akibat yang ditimbulkan.
3.
Urbanisasi dapat diartikan sebagai
pertambahanpenduduk perkotaan (Shryyock dan Siegel, 1976)
Dampak Urbanisasi dalam Aspek Sosial-Budaya
Perbincangan mengenai akibat urbanisasi bagi masyarakat desa, selama ini
lebih banyak mengungkapkan pada aspek sosial ekonomi, sementara sorotan
terhadap aspek sosial budaya dirasakan masih kurang. Pada hal sebagaimana
dinyatakan beberapa ahli seperti Zelinsky (1971:222) dan Lewis (1982:168) bahwa
mobilitas penduduk me-megang peranan penting dalam perubahan sosial-budaya
dengan cara membawa ma-syarakat dari kehidupan tradisional ke sua-sana dan cara
hidup modern yang dibawa dari luar. Perubahan tersebut termasuk per-geseran nilai
dan norma serta jaringan dan pola hubungan kekerabatan di pedesaan.
Sebenarnya tidaklah mudah menge-mukakan perubahan yang terjadi pada aspek
sosial budaya ini, karena tidak begitu nampak secara nyata seperti halnya pada
perubahan sosial ekonomi.Sehingga untuk mengetahuinya diperlukan pengamatan
yang agak intensif dan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang
benar-benar menguasai pemasalahan. Bebe-rapa perubahan dalam aspek sosial
budaya antara lain tersebut di bawah ini.
Pertama, perubahan yang paling nampak dalam aspek sosial budaya adalah
dalam bidang pendidikan.Beberapa infor-man mengemukakan bahwa sejak sekitar dua
puluh tahun terakhir ini, yaitu sejak berangsurnya penduduk Desa Jetis
melaku-kan urbanisasi, maka kesadaran penduduk untuk menyekolahkan semakin
meningkat. Bila pada tahun 1970-an kebanyakan orang tua hanya menyekolahkan
hingga tamat SD, dan sangat sedikit yang menyekolahkan hingga sekolah lanjutan,
kini sebagian besar telah menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang
sekolah lanjutan atas, bahkan hingga perguruan tinggi. Di desa Jetis, tidaklah
aneh bila orang tuanya bekerja di kota
sebagai pedagang bakso, sementara anaknya kuliah di perguruan tinggi. Tanpa
mengabaikan pengaruh varia-bel lain, misalnya fasilitas pendidikan yang semakin
banyak hingga ke pelosok desa, urbanisasi berdampak pada peningkatan kesadaran
menyekolahkan anak, wawasan dan pemikiran semakin terbuka setelah ba-nyak
berhubungan dengan masyarakat luar, dan melihat perkembangan pembangunan yang terjadi
di tempat lain. Apalagi ke-sadaran ini semakin ditunjang peningkatan pendapatan
sehingga mereka mampu membiayai pendidikan anaknya.
Kedua, urbanisasi juga berdampak pada perubahan peranan dan tanggung
jawab wanita. Kenyataan ini terutama nampak pada wanita yang ditinggal suaminya
bekerja di kota, mereka harus bertindak sebagai kepala rumah tangga selama
suaminya tidak ada di rumah. Wanita tidak hanya bertanggung jawab atas kegiatan
di dalam rumah tangga, tetapi juga harus melakukan kegiatan kemasyarakatan atas
nama suami. Secara tidak langsung
mengubah kebiasaan menempat-kan kaum wanita hanya sebagai ibu rumah tangga
serta berurusan dengan kegiatan wanita saja.Sebagaimana program pemerintah yang
menuntut kaum wanita untuk turut serta dalam kegiatan di luar rumah tangga.
Ketiga, dampak urbanisasi juga ter-lihat pada kelembagaan keluarga,
khususnya dalam sistem perkawinan, di mana sekarang ini orang tua tidak lagi
dominan dalam menentukan pilihan jodoh bagi anaknya. Dalam kasus di Desa Jetis
ini, banyak di antara pemuda-pemudinya yang memperoleh pasangan hidup dari luar
daerah atas dasar pilihannya sendiri, dan kebanyakan jodohnya tersebut
diperoleh di kota tempat mereka bekerja. Dampak lain adalah semakin
meningkatnya usia perka-winan. Kalau pada tahun 1970-an anak gadis yang belum
berumur 18 tahun sudah di-nikahkan, kini umur kawin telah meningkat dan
cenderung “diprogram” oleh mereka sendiri.
Keempat, urbanisasi memberikan pengaruh pada meluasnya kerangka
pemi-kiran penduduk desa serta mengubah perilaku masyarakat dari orientasi
sosial ke orientasi komersial. Dalam hal ini telah terjadi perubahan apresiasi
nilai uang pada seluruh warga desa, atau dengan kata lain meminjam istilah
beberapa ahli, di desa tersebut telah terjadi monetisasi dan komersialisasi
aktivitas yang semula bersifat sosial. Kegiatan gotong-royong yang selama ini
dipandang merupakan aktivitas luhur yang kita banggakan kini semakin luntur.
Contoh nyata dalam hal ini adalah bahwa dewasa ini kegiatan memperbaiki rumah,
membangun pagar, membuat sumur, dan kegiatan-kegiatan lain di sekitar rumah
tangga sekarang tidak lagi dilakukan dengan cara sambatan atau tolong-menolong
antar tetangga, melainkan dilakukan dengan membayar tenaga tukang.
Kelima, dari segi hubungan kekera-batan, urbanisasi sering diasosiasikan
dengan melemahnya atau longgar-nya hubungan kekerabatan. Dengan kata lain,
makin meningkat kegiatan mobilitas penduduk akan semakin melonggarkan
ke-terikatan mereka dengan kehidupan pen-duduk setempat. Lemahnya hubungan
keke-rabatan sebenarnya tergantung dari persepsi yang diberikan.Secara fisik,
memang kepergian mereka ke luar desa mengaki-batkan semakin berkurangnya
kesempatan mereka untuk mengikuti acara atau peris-tiwa sosial di desa.Tetapi
secara batiniah hubungan dan ikatan dengan daerah asal itu ada beragam
perilaku.Ada yang memang merasa masih memiliki ikatan kuat dengan kerabatnya di
desa.Hal ini ditunjukkan dengan perilaku kepulangan mereka setiap saat ke desa
asal.Tetapi ada pula yang sudah mulai “ogah-ogahan” pulang ke desa, dan dengan
demikian ikatan kekerabatan juga sudah melonggar.
Keenam, secara sosial, urbanisasi akan berpengaruh pada kesejahteraan
ke-luarga migran yang bersangkutan. Hal ini berkait dengan kehidupan keluarga
mereka yang terpaksa harus hidup terpisah sampai jangka waktu yang tidak
diketahui batasnya. Sekalipun mereka pada waktu-waktu ter-tentu pulang ke desa,
namun kese-jahteraan keluarga akan lebih terjamin bila mereka selalu berkumpul
dalam satu rumah. Namun demikian, hal ini nampaknya tidak terlalu dirisaukan
oleh orang desa, sebagai masyarakat desa yang biasa hidup sub-sistensi,
nampaknya pemenuhan kebutuhan ekonomi lebih mendominasi pemikiran mereka dalam
soal kesejahteraan hidupnya.
Ketujuh, orang-orang “sukses” di kota ini dapat menumbuhkan kemampuan dan
keinginan untuk berkompetisi atau bersaing. Dari sisi positif kompetisi dan
persaingan ini akan sehat dan baik apabila mendorong mereka terpacu dan semakin
giat bekerja, sehingga keberhasilan ini akan semakin dapat dirasakan penduduk
desa. Di sisi lain kompetisi dan persaingan ini akan menjadi tidak sehat karena
membuahkan perilaku budaya baru yang disebut dengan budaya “pamer” dengan
menggunakan ke-kuatan ekonomi. Karena budaya “pamer” ini tidak sesuai dengan
budaya Jawa yang berusaha untuk konform dengan lingkungan sekitar.Dalam hal
ini, orang mencari penga-kuan dan kehormatan melalui kekayaannya. Data di atas
sesuai dengan sinyalemen Saefullah (1994:40) yang menyatakan penggunaan uang
untuk membeli tanah, mendirikan rumah, membeli sepeda motor, dan alat-alat
rumah tangga modern tam-paknya terdorong oleh apirasi mobilitas sosial.
Kedelapan, pengaruh urbanisasi juga nampak pada kebiasaan berpakaian dan
makan.Perubahan dalam hal berpakaian tidak semata-mata karena evolusi alamiah,
melainkan juga karena ada kontak dengan dunia luar atau ada pihak yang
memper-kenalkan. Media massa dan iklan dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat
dalam berpakaian dan makan, tetapi dampaknya tidak akan efektif apabila tidak
ada orang yang memberikan contoh nyata dalam kesehariannya. Setelah melihat
cara-cara baru berpakaian dan mengenal macam-macam makanan modern sekembalinya
ke desa diperlihatkan kepada orang-orang desa.
Kesembilan, perubahan juga nampak pada pergaulan remaja, serta interaksi
antara generasi muda dengan orang tua.Dari sisi positif, urbanisasi mendorong
penduduk untuk memperluas pergaulan dan penga-laman, dengan akibat lebih lanjut
pada keinginan mereka untuk meningkatkan ke-mampuan diri. Sedangkan di pihak
lain sebagian remaja yang pergi ke kota mem-bawa kebiasaan baru yang bersifat
negatif yang diperolehnya di kota seperti minum-minuman yang mengandung
alkohol, ber-judi. Dampak negatif yang lain adalah mulai berkurangnya
penghormatan terhadap orang tua. Memang hanya sedikit warga Desa Jetis yang
melakukan kegiatan negatif semacam itu, meskipun demikian perilakunya dapat
mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal interaksi antara
generasi muda dengn orang tua seringkali ditemui adanya kesenjangan, baik dalam
hal nilai, norma dan berakibat pada perilaku kesehariannya.
Teori kependudukan
Penduduk jika dilihat dari sisi positif, sebetulnya memiliki faktor
strategis dalam pembangunan dengan beberapa alasan. Alasan pertama, penduduk
adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan
ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi mesin penggerak pembangunan.
Sebagai obyek, pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan
demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama, dengan
memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi
secara aktif.
Alasan kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada akan sangat
mempengaruhi dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti
dengan kualitas penduduk yang memadai, akan menjadi pendorong utama pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar namun kualitasnya kurang memadai
justru akan menjadi beban pembangunan.
Alasan ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa
dalam jangka panjang, sehingga terkadang peran penting penduduk dalam pembangunan
menjadi terabaikan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah seringkali bersifat
populis jangka pendek. Akibatnya pengelolaan kependudukan di suatu negara bukan
menjadi hal yang cukup prioritas. Padahal tidak diindahkannya dimensi
kependudukan dalam kerangka pembangunan berarti sama artinya dengan
”menyengsarakan” generasi mendatang.
Bagaimana penduduk mempengaruhi pertumbuhan juga diuraikan dalam berbagai
teori. Thomas Robert Malthus dalam bukunya An Essay on the Principle of
Population as It Affects the Future Improvement of Society, menyoroti
pentingnya pengelolaan penduduk. Malthus mengingatkan tentang bahaya laju
pertumbuhan penduduk yang akan melebihi percepatan laju penyediaan pangan.
Secara implisit teori tersebut menekankan pentingnya pengendalian populasi
sebagai salah satu kekuatan penggerak dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Paska lahirnya teori Malthus, dunia sepertinya tidak lagi memperdulikan
peran populasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Berbagai teori pertumbuhan ekonomi
klasik justru menganggap pentingnya peran akumulasi modal sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi negara dengan menafikan peran populasi. Sebagai contoh
teori Harod Domar yang menyatakan bahwa sumber pertumbuhan adalah besarnya
porsi pendapatan domestik bruto (PDB) yang ditabung, sebagai capital stock
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Dalam pengembangannya, Solow Swan mulai mempertimbangkan pentingnya
akumulasi modal ”dalam arti luas” sebagai sumber utama pertumbuhan. Akumulasi
modal ”dalam arti luas” didefinisikan sebagai ”modal fisik dan non fisik berupa
ilmu pengetahuan dan teknologi”. Teknologi akan memacu inovasi, meningkatkan
produktivitas, serta terciptanya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Inovasi
tersebut muncul dari hasil learning by doing, dengan menekankan pentingnya
kualitas penduduk di dalamnya. Pengembangan teori Solow Swan inilah yang
nantinya dikenal sebagai New Growth Theory, sebagai dasar munculnya revoluasi
pemikiran pentingnya kualitas penduduk dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Di era Orde Baru, Pemerintah sebetulnya cukup concern dengan masalah
kualitas penduduk. Banyak kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat
terintegrasi demi menciptakan penduduk yang berkualitas. Program Keluarga
Berencana (KB), BKKBN, dan Posyandu adalah contoh nyata kebijakan Pemerintah
Orde Baru yang ditujukan demi menciptakan masyarakat yang berkualitas.
Hal inilah sejujurnya yang menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk
bagaimana mengubah kualitas penduduk sehingga urbanisasi tidak lagi dimaknai
negatif. Tujuan utama yang ingin dicapai tentu saja meningkatkan pemerataan
pembangunan di seluruh daerah di Indonesia. Dan pemerintah sudah memiliki
instrumen pendanaan yang tepat jika ingin mewujudkan mekanisme tersebut.
Rencananya, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2016,
besaran dana Transfer ke Daerah akan mencapai Rp800 triliun, naik secara
signifikan dibandingkan alokasi APBN Perubahan 2015 sebesar Rp643,8 triliun. Di
dalam alokasi tersebut, sudah termasuk pula Dana Desa yang besarannya juga akan
terus diupayakan untuk meningkat secara singifikan.
Optimalisasi “Ekonomi Lebaran” di daerah-daerah juga perlu dilakukan.
Perlu dicatat bahwa ketika ekonomi nasional tengah mengalami kelesuan,
permintaan uang tunai untuk kebutuhan Lebaran tahun 2015 justru mengalami
kenaikan hingga mencapai Rp125 triliun. Dari keseluruhan uang tersebut, sebesar
Rp61 triliun beredar di pulau Jawa, Rp20 triliun beredar di pulau Sumatera dan
sisanya sekitar Rp11 triliun beredar di Bali dan Indonesia Timur. Dari Rp61
triliun yang beredar di Jawa, sekitar 30%-nya beredar di Jakarta. Suatu potensi
ekonomi yang sebetulnya sangat disayangkan jika terbuang hanya untuk kegiatan
konsumtif semata tanpa dapat menggerakan kegiatan investasi selanjutnya.
Oleh karena itu, ke depan Pemerintah sebaiknya memfokuskan pada bagaimana
menciptakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah sebagai acuan kinerja
utama, khususnya di wilayah-wilayah perdesaan demi men-disencourage ledakan
urbanisasi. Tanpa itu semua, Jakarta akan terus menjadi tumpuan mengadu nasib
seluruh pendatang baru, meskipun Jakarta sendiri juga memiliki keterbatasan
daya dukung dan daya tampung. Seyogyanya pekerjaan ini dimulai dari sekarang.
Jangan tunggu sampai Jakarta menjadi kota nekropolitan bagi penduduknya.
No comments:
Post a Comment